“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang
beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang
telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya t
elah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(Al-hadid: 16)
Maha Suci Allah yang menggantikan malam dengan siang dan sore pun menyongsong
malam. Hari berlalu menyusun pekan. Hitungan bulan-bulan pun membentuk tahun.
Tanpa terasa, pintu ajal kian menjelang. Sementara, peluang hidup tak ada
siaran ulang.
Siap atau tidak, waktu pasti akan meninggalkan kita
Sejauh apa pun satu tahun ke depan jauh lebih dekat daripada satu detik yang
lalu. Karena waktu yang berlalu, walaupun satu detik, tidak akan bisa
dimanfaatkan lagi. Ia sudah jauh meninggalkan kita.
Begitu pun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Pagi ini adalah pagi
ini. Kalau datang siang, ia tidak akan pernah kembali. Kalau kesempatan di pagi
ini lewat, hilang sudah momentum yang bisa diambil. Karena, belum tentu kita
bisa berjumpa dengan pagi esok.
Itulah yang pernah menggugah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, karena sangat
lelah, Umar menolak kunjungan seorang warga. “Esok pagi saja!” ucapnya spontan.
Khalifah Umar berharap esok pagi ia bisa lebih segar sehingga urusan bisa
diselesaikan dengan baik.
Tapi, sebuah ucapan tak terduga tiba-tiba menyentak kesadaran Khalifah kelima
ini. Warga itu mengatakan, “Wahai Umar, apakah kamu yakin akan tetap hidup esok
pagi?” Deg. Umar pun langsung beristighfar. Saat itu juga, ia menerima
kunjungan warga itu.
Kalau kita menganggap remeh sebuah ruang waktu, sebenarnya kita sedang membuang
sebuah kesempatan. Kalau pergi, kesempatan tidak akan kembali. Ia akan pergi
bersama berlalunya waktu. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian.” (Al-Ashr: 1-2)
Siap atau tidak, jatah waktu kita terus berkurang Ketika seseorang sedang
merayakan hari ulang tahun, sebenarnya ia sedang merayakan berkurangnya jatah
usia. Umurnya sudah berkurang satu tahun. Atau, hari kematiannya lebih dekat
satu tahun. Dalam skala yang lebih luas, pergantian tahun adalah berarti
berkurangnya umur dunia. Atau, hari kiamat lebih dekat satu tahun dibanding
tahun lalu.
Ketika jatah-jatah waktu itu terus berkurang, peluang kita semakin sedikit.
Biasanya, penyesalan datang belakangan. “Dan pada hari itu diperlihatkan neraka
Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu
mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 23-24)
Tak banyak yang sadar, begitu banyak peluang menghilang
Kadang, seseorang menganggap biasa mengisi hari-hari dengan santai, televisi,
dan berbagai mainan. Bahkan ada yang bisa berjam-jam bersibuk-sibuk dengan
video game. Sedikit pun tak muncul rasa kehilangan. Apalagi penyesalan.
Padahal kalau dihitung, amal kita akan terlihat sedikit jika dibanding dengan
kesibukan rutin lain. Dengan usia tiga puluh tahun, misalnya. Selama itu, jika
tiap hari seorang tidur delapan jam, ternyata ia sudah tidur selama 87.600 jam.
Ini sama dengan 3.650 hari, atau selama sepuluh tahun. Dengan kata lain, selama
tiga puluh tahun hidup, sepertiganya cuma habis buat tidur.
Jika orang itu menghabiskan empat jam buat nonton televisi, setidaknya, ia
sudah menonton televisi selama 43.200 jam. Itu sama dengan 1.800 hari, atau
lima tahun. Bayangkan, dari tiga puluh tahun hidup, lima tahun cuma habis buat
nonton teve. Belum lagi urusan-urusan lain. Bisa ngobrol, curhat, ngerumpi,
jalan-jalan, dan sebagainya.
Lalu, berapa banyak porsi waktunya buat ibadah? Kalau satu salat wajib
menghabiskan waktu sepuluh menit, satu hari ia salat selama lima puluh menit.
Ditambah zikir dan tilawah selama tiga puluh menit, ia beribadah selama delapan
puluh menit per hari. Jika dikurangi sepuluh tahun karena usia kanak-kanak, ia
baru beribadah selama 1.600 jam. Atau, 1,8 persen dari waktu tidur. Atau, 3,7
persen dari lama nonton teve.
Betapa banyak peluang yang terbuang. Betapa banyak waktu berlalu tanpa nilai.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi
kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3)
Tak seorang pun tahu, kapan waktunya berakhir
Tiap yang bernyawa pasti mati. Termasuk, manusia. Kalau dirata-rata, usia
manusia saat ini tidak lebih dari enam puluhan tahun. Atau, setara dengan dua
belas kali pemilu di Indonesia. Waktu yang begitu sedikit.
Saatnya buat orang-orang beriman memaknai waktu. Biarlah orang mengatakan waktu
adalah uang. Orang beriman akan bilang, “Waktu adalah pahala!”
Sumber : http://www,dakwatuna,com/2008/menjual-waktu-dengan-pahala/
No comments:
Post a Comment